Seminar BHF FDKI Bahas Pantun Kalimantan Barat

Pontianak, (fdki.iainptk.ac.id) – Pantun Kalimantan Barat sangat khas. Bentuk dan fungsinya berbeda dibandingkan pantun di Betawi maupun Malaysia. Demikian kesimpulan seminar “Memahami Pantun dalam Masyarakat Kalimantan Barat” yang diselenggarakan oleh Borneo Heritage Forum (BHF) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam (FDKI) IAIN Pontianak, di Kampus FDKI Senin (15/12/2025). Seminar diikuti dosen FDKI dan menampilkan dua pembicara, Agus Muare Rahman, peraih anugerah Tokoh Budaya Kalimantan Barat tahun 2025, yang juga praktisi pantun, dan Arief Adi Purwoko, dosen FDKI yang sedang melakukan penelitian tentang budaya Masyarakat Kalbar.

Diskusi bulanan ini dibuka Ketua BHF Dr. Patmawati, dan dipandu Yusriadi, dosen FDKI. Menurut Patmawati program diskusi ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan kepada dosen anggota BHF dalam memahami kebudayaan Borneo.

Agus dalam paparannya menegaskan bahwa pantun Kalimantan Barat memiliki kekhasan yang membedakannya dari pantun Betawi maupun pantun Melayu Malaysia. Kekhasan itu, menurutnya, tampak pada penggunaan kosakata lokal, pembayang yang bersumber dari alam dan pengalaman setempat, serta ragam rima yang lebih variatif. “Pantun Kalimantan Barat punya nilai rasa sendiri. Ia lahir dari ekologis dan social Borneo,” ujarnya.

Dia menunjukkan sejumlah contoh pantun yang ia kutip dari sumber-sumber lokal di Kalimantan Barat. Contoh-contoh tersebut memperlihatkan bagaimana unsur danau Sentarum, hulu Sungai, tumbuhan, dan relasi sosial masyarakat lokal menjadi pembayang yang memperkaya makna pantun. “Rima dalam pantun Kalbar sangat beragam, dan ini, dari buku-buku yang saya baca,  belum ada yang membahasnya.,” katanya.

Menariknya, pantun di Kalimantan Barat tidak terbatas pada fungsi hiburan. Agus menjelaskan bahwa pantun digunakan dalam pengobatan tradisional, prosesi perkawinan, cerita lisan, hingga berbagai majelis sosial dan keagamaan. “Pantun memberi warna, etika, dan nilai dalam banyak situasi kehidupan,” ujarnya. Karena itu, ia mendorong kalangan akademisi, khususnya dosen FDKI, untuk melakukan pendalaman dan pengujian ilmiah atas kekayaan pantun tersebut.

Sementara itu, Arief Adi Purwoko menekankan pentingnya penelitian akademik yang berpijak pada praktik budaya lokal. Menurutnya, pantun dapat menjadi pintu masuk untuk memahami cara pandang, nilai, dan identitas masyarakat Borneo. “Kajian budaya lokal seperti pantun tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga memperkaya khazanah ilmu, apa pun…,” katanya.

Seminar ini menegaskan peran kampus sebagai ruang dialog antara pengetahuan akademik dan praktik budaya masyarakat. Melalui Borneo Heritage Forum, FDKI IAIN Pontianak berupaya menjadikan budaya Borneo, termasuk pantun,  sebagai sumber penelitian yang menarik dan penting. (rilis).